Sunday, October 13, 2024

“Angin Rezeki dari Balon: Kisah Pak Haris dan Impian di Tepi Jalan”

Pak Haris menatap kosong ke arah jalanan yang ramai. Di tangannya, tergantung puluhan balon warna-warni yang melambai tertiup angin. Sudah bertahun-tahun ia mengais rezeki dengan berjualan balon di tepi jalan ini. Ia tidak tahu pasti kapan mulai, tapi yang jelas, setiap harinya ia mengikatkan harapannya pada balon-balon itu.

Balon-balon yang ia jual bukan sekadar benda melayang di udara. Bagi anak-anak, mereka adalah kebahagiaan yang bisa dibeli dengan harga murah. Bagi Pak Haris, balon-balon itu adalah jembatan rezeki antara dirinya dan keluarganya di rumah. Dengan balon-balon itu, ia menyekolahkan anaknya, membeli beras, dan membayar listrik.


Setiap hari, Pak Haris berdiri di bawah terik matahari atau hujan, tak peduli. Ia tahu rezeki tak selalu datang dengan cepat. Kadang, ia harus menunggu lama hingga ada seorang anak kecil yang merengek kepada orang tuanya untuk membeli balon. Kadang, balonnya hanya sedikit yang terjual, tapi ia tak pernah putus asa.


“Pak, satu balon warna biru, ya!” seru seorang bocah kecil sambil menarik tangan ayahnya.


Pak Haris tersenyum. Ia mengambil balon biru itu dan memberikannya dengan hati-hati. “Ini nak, jaga baik-baik ya, jangan sampai lepas,” katanya lembut.


Senyum lebar bocah itu menjadi bayaran yang tak ternilai bagi Pak Haris. Meskipun keuntungannya tak seberapa, senyuman anak-anak itu menghangatkan hatinya. Dalam sekejap, rasa lelahnya hilang seiring balon yang melayang di udara.


Malam itu, Pak Haris pulang dengan pikiran tenang. Meski balon yang terjual tak sebanyak harapannya, ia merasa cukup. Rezeki tak selalu dalam bentuk uang banyak, tapi dalam ketenangan hati. Besok, ia akan kembali lagi, membawa harapan baru di tengah hiruk-pikuk kota dengan balon-balon yang siap mengudara.

Friday, October 11, 2024

Mensyukuri apa yang kita miliki sekarang

Suara alarm pagi itu membangunkan Wira dari tidurnya. Ia menatap jam di ponselnya, lalu dengan malas beranjak dari tempat tidur. Setiap pagi terasa sama baginya, penuh dengan rutinitas yang monoton. Ia bekerja di sebuah perusahaan kecil yang bergerak di bidang teknologi, bagian admin. Tidak ada yang istimewa, hanya angka-angka dan laporan yang terus mengalir.

Wira merasa hidupnya kurang berarti. Ia sering melihat teman-temannya di media sosial yang tampak sukses dengan pekerjaan yang lebih glamor. Ada yang menjadi pengusaha, ada yang bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar, dan ada yang bisa traveling ke luar negeri kapan saja mereka mau. Sementara ia, hanya duduk di belakang meja dengan komputer di hadapannya. Pekerjaan ini tidak membawa kebahagiaan, pikirnya.


Namun, suatu hari sesuatu yang tak terduga terjadi. Teman sekelasnya dulu, Andi, mengirim pesan singkat. Mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam percakapan itu, Andi bercerita bahwa ia baru saja kehilangan pekerjaannya akibat pemutusan hubungan kerja massal di perusahaan tempat ia bekerja. Andi kini sedang berjuang mencari pekerjaan baru, tetapi pasar kerja sangat kompetitif dan situasinya semakin sulit.


Wira tertegun. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang-orang yang ia anggap “berhasil” bisa mengalami hal seperti itu. Saat itu, Wira menyadari satu hal penting: ia masih memiliki pekerjaan yang stabil. Mungkin tidak mewah atau penuh prestise, tetapi pekerjaan ini memberinya penghasilan tetap, rasa aman, dan rutinitas yang membuatnya bisa menjalani hidup dengan lebih tenang.


Ia merenung. Sering kali, manusia sibuk melihat ke atas, mengejar sesuatu yang belum tentu lebih baik, dan lupa bersyukur dengan apa yang sudah ada. Pekerjaannya sekarang mungkin tidak sempurna, tetapi berkat pekerjaan ini ia bisa membayar tagihan, menabung, dan menikmati waktu dengan keluarganya.


Sejak hari itu, Wira berusaha untuk lebih bersyukur. Ia memutuskan untuk mengubah cara pandangnya terhadap pekerjaannya. Alih-alih mengeluh, ia mulai melihat sisi positifnya. Setiap hari adalah kesempatan untuk belajar dan berkembang, meski dalam hal-hal kecil sekalipun. Dan di saat yang sama, ia mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki pekerjaan yang paling bergengsi, tetapi tentang bagaimana kita mensyukuri apa yang sudah kita miliki.